Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts
"Yang kutahu, temanku ini suka nonton anime. Setiap dia di 9CC ini, hampir bisa aku pastikan dia sedang nonton anime. Tapi, dia juga merupakan mahasiswa yang unik. Hidupnya terus bergerak. Dia aktif di organisasi mahasiswa yang dapat memicu perkembangan pemikirannya." 
Malam ini ialah malam keduaku di Malang pada tahun 2020. Sepertinya, malam ini akan terasa sangat lama. Pasalnya, ku putuskan untuk malam ini tidak keluar ke mana-mana. Diam di 9CC.

Disampingku, ada teman baikku yang berasal dari daerah yang sama, Nganjuk. Dia sekarang juga semester delapan, sama denganku.

"Nonton anime apa, Man?" tanyaku.

Yang kutahu, temanku ini suka nonton anime. Setiap dia di 9CC ini, hampir bisa aku pastikan dia sedang nonton anime. Tapi, dia juga merupakan mahasiswa yang unik. Hidupnya terus bergerak. Dia aktif di organisasi mahasiswa yang dapat memicu perkembangan pemikirannya. 

Sejak dulu, sejak pertama aku mengenal dia, dia selalu unik bagiku. Dia pernah dihajar oleh ibunya gara-gara ada yang melapor bahwa dia renang di kali Brantas. 

"Bu Dewi, anak sampeyan nglangi ndek Brantas, nyebrang ngetan-ngulon kae, low," lapor tetangganya.

Entah itu benar atau tidak, setahuku, dia memang jago berenang sejak kelas 6 SD. 

Dia juga pernah dimarahi guru Fisika-nya saat SMP. Itu gara-gara saat guru SMP ngasih Les pagi, dia tidak sependapat dengan gurunya. 

"Soal ini salah, ya, anak-anak." kata gurunya.

Rohman langsung melirik padaku. Kami duduk satu bangku. 

"Itu sebenarnya tidak salah, Jo." kata Rohman.

Dia bisa mengerjakan soal yang ada di LKS dan rumus yang dia pakai adalah benar. Dia menjelaskan detailnya padaku. Ternyata rumus yang dipakai oleh bu guru kami adalah salah. Salah rumus dalam Fisika adalah fatal. 

Akhirnya, temanku ini keceplosan dalam berbicara. Kejadian itu begitu cepat. Aku tidak ingat apa yang ia katakan. Akhirnya dia dihukum oleh bu guru untuk berdiri satu kaki di depan kelas sebelah kiri sambil memegang telinga.

Entah kenapa, sejak kejadian itu, Rohman memilih untuk diam jika gurunya salah.

Kini dia sudah beranjak dewasa. Setiap Senin Kamis dia berpuasa. Tiap hari dia sempatkan membaca Al Qur'an walau hanya satu rukuk. Sering juga ku temui dia bangun malam dan sholat, entah sholat apa saja, aku tidak tahu.

Seingatku, dia dulu pernah bilang bahwa apa yang dia lakukan adalah untuk masa depan.


Masa depan kita sangat panjang, kawan. Hidup kita di usia 20an akan berpengaruh pada kehidupan kita di usia 40 lebih. Dan usia 40 lebih sudah sulit untuk melatih diri agar istiqomah melakukan ibadah kalau sejak muda tidak pernah diistiqomahkan. Ini untuk kehidupan kelak yang lebih kekal, dan untuk mewarisi ke anak-cucu kita kelak.

Semoga jalan hidup kita senantiasa dirahmati Allah SWT. Amiin.[*]





DOWNLOAD PRESTASI

_________________________________
Sumber gambar: bumitauhid.home.blog

Sumber: hipwee.com

"Kesetaraan gender itu apa, sih, Pak?" tanya anak perempuanku.


Kulihat sorot matanya, anak yang dulu masih imut dan unyu-unyu itu kini sudah mulai beranjak dewasa.

"Gini, Nduk. Sebelum membahas kesetaraan gender, sampeyan harus paham 'apa gender itu?' terlebih dahulu," kataku.

Kemudian aku jelaskan terkait gender. Bahkan, sebenarnya kalau kita langsung membahas gender, itu loncat. Harusnya ke sejarah munculnya gerakan feminisme. Di sana nanti kita akan menemukan garis-garis kepentingan ideologi antar golongan yang saling bersinggungan.

"Perbanyaklah baca, Nduk. Kesetaraan gender ini masih belum bisa disuarakan di kampung kita. Masih banyak yang salah paham dengan hal ini," jelasku.

"Baik, Pak. Berarti Mbak Thoriq menjadi ketua OSIS itu juga termasuk contoh kesetaraan gender, ya? Bu Khofifah jadi menteri dan jadi gubernur, Bu Marni jadi Kepala sekolah, dan Mbak Khoir jadi Presiden Mahasiswa," Astila menyimpulkan.

"Iya, Nduk. Bahkan lebih sederhana dari itu, anak perempuan bisa mendapat hak belajar di sekolah, perempuan boleh terjun dalam dunia bisnis, jadi pamong desa, jadi petani, pedagang, dan guru, dan lain sebagainya—itu termasuk kesetaraan gender," kataku.

Malam itu langit terlihat cerah. Kami duduk di depan surau yang ada di belakang rumahku. Bintang-bintang gemerlap tersenyum memandang kami. Angin desa yang sejuk menari-nari sambil sesekali jail menyenggol kami. Malam yang sunyi.[*]






Kesetaraan Gender?

Oleh Tanggal 1/13/2020 11:54:00 am
Sumber: hipwee.com "Kesetaraan gender itu apa, sih, Pak?" tanya anak perempuanku. Kulihat sorot matanya, anak yang dulu ...

"Pak Budi,.." seorang mahasiswi datang menghampiriku saat aku sedang asyik mempermainkan harga diri rokokku di sebuah kafe.

"Iya, Nduk.. Pye?"

Mahasiswi yang satu ini termasuk manusia unik. Dia sudah saya anggap sebagai anakku. Entahlah. Kenapa aku punya sisi kebapak-bapak'an.

Dia duduk di sampingku sambil membawa es warna coklat yang entah apa namanya.

Sebagaimana seorang bapak bertemu anak, saya sedih jika melihat wajahnya yang buram.

"Ada apa?" saya tanya lagi.

Dia menjelaskan masalahnya. Ternyata dia sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki. Dan ingin menikah.

"Dia anak pondok, Pak. Namanya Cak Sunarto. Satu pondok sama sampeyan,"

Iya. Saya langsung ingat siapa yang dia maksud. Saya tahu wajahnya dan tahu orangnya. Tapi saya tidak kenal siapa dirinya. Wajarlah. Pondok segitu besarnya. Setiap tahun ada 200 santri yang masuk. Dan dia termasuk santri senior. Kira-kira, masuknya 4 tahun lebih awal dariku.

"Bagus itu! Lanjutkan!" kataku.

"Lha, masalahnya gini, Pak. Saat aku showan di salah satu Gus di kampungku, beliau mengatakan bahwa aku tidak cocok dengan Cak Sunarto ini,"

Waduh. Setahu saya, (kalau itungan jowo udah beres dan tidak masalah) showan gitu itu tidak mendiagnosis cocok atau tidak, boleh atau tidak. Harusnya memperlihatkan kurangnya apa kalau sama pemuda ini, nanti ke depan akan ada masalah bagaimana, dan apa yang harus dilakukan.

"Aku kudu piye, Pak?" dia memperlihatkan wajah melasnya.


Dia cerita bahwa dia sangat mencintai senior saya itu.

"Tapi aku, kok, merasa ada yang janggal ngunu lo, Pak. Lak ku nyenengi Cak iku kok nemen banget ngunu, lho. Mosok aku di-mahabbah-i, ya, Pak?"

Waduh-waduh... Kok wani-wanine melet anakku.

"Sek.. Tak delok'e," kataku. Kemudian saya pejamkan mata sambil menaruh tangan saya di atas kepala dia.

Saya katakan bahwa dia tidak di-mahabbah-i. Tapi saya sarankan, dia agar istikhoroh. 

"Sampeyan istikhoroh ae, Nduk. Tata caranya dan doanya silahkan baca ini," saya sodorkan HP yang berisi catatan Diniyah.

Istikhoroh itu, selain kita meminta petunjuk atas sebuah pilihan, kita juga akan merasa lega ketikan memutuskan untuk memilih sesuatu. Pilihan kita terasa lebih ringan. Hati terasa ayem dan marem walau pun bagi kita pilihan tersebut belum tentu manis.[*]


Ilustrasi: bahasakita.com

Aku Kudu Pye, Pak?

Oleh Tanggal 1/11/2020 08:44:00 pm
"Pak Budi,.." seorang mahasiswi datang menghampiriku saat aku sedang asyik mempermainkan harga diri rokokku di sebuah kafe...
Ilustrasi: https://bobo.grid.id

"Dalam menentukan pilihan, seluruh ranting dan komisariat tidak boleh diprovokasi atau pun diintervensi, Dul" kataku.


"Ya, memang. Setuju saya," jawab Abdul.

"Lha, terus kenapa periode lalu kamu, kok, melakukan itu?" tanyaku.

"Siapa bilang?"

"Alah, gak usah gaya goblok we!"

"Gini, Bud." Abdul membenahi duduknya dan menyeruput kopi di depanku, "Dalam pemilihan ketua PAC, yang kita pakai adalah kata 'suksesi'. Mekanisme yang berjalan adalah menjalin komunikasi, tidak ada intervensi. Semua terbuka untuk memberi saran atau apapun. Boleh menolak atau netral. Saya paham mana yang boleh saya lakukan dan mana yang menjadi batasan untuk tidak saya terjang," kata temanku dari desa sebelah.

"Alah, aku ndak paham kalimatmu. Terlalu ribet. Pokoknya kenapa, kok, kamu politiki dan kamu setting?"

"Emang sejak kapan pemilihan ketua PAC tidak settingan? Tahun lalu emangnya Benni dan Sutris ndak ikut nyetting apa? Malah mereka mainnya kasar, masak Ketua Ranting Mugiduwur disamperin dan langsung dibilang untuk milih Rekan Krusuk. Gak sopan blass. Etikanya mana? Itukan intervensi namanya! Harusnya diajak duduk dulu, bicara baik-baik. Dan Saya tahu semua siapa yang main kemarin. Bahkan konferensi 2012, 2014, 2016, sudah tahu semua saya. Atau jangankan konferancab, konfercab 2014 saja saya juga tahu, Bud."

"Lak ngunu, sok mben aku jak'en nyetting pisan ya.. Ben ngerti carane," kata Darmen menyela perbincangan kami.[*]

Sejak Kapan?

Oleh Tanggal 1/10/2020 05:35:00 pm
Ilustrasi: https://bobo.grid.id "Dalam menentukan pilihan, seluruh ranting dan komisariat tidak boleh diprovokasi atau pun diinter...

"Dari mana, Dul?" tanyaku.

"Dari sana ke sini, Bud." jawab Abdul.

Abdul ini anak yang unik, pemikirannya selalu selangkah lebih maju dariku. Dia berasal dari desa sebelah. Kami berdua sama-sama aktif di IPNU.

"He, kampret.. Pye persiapan konferensi Minggu depan?" tanyanya padaku.

"Lho,.. maksudmu?"

Ini salah satu poin bahwa dia selalu berfikiran lebih maju dariku. Entah apa yang merasukinya, yang jelas dia selalu saja begitu. 

"Gini, lho, Bud. Konferensi itu 'kan forum tertinggi di PAC, nanti akan ada sidang pemilihan ketua PAC yang baru. Nah, kamu ada pandangan, nggak, terkait itu?"

"Maksudmu calon ketua? Menurut pandanganku?"

"Iyap.. Betul!"

"Gini, Dul. Bukane aku moh ngasih masukan atau urun rembug, aku ini dudu sopo-sopo, gak masuk itungan! Jadi, ya, ndak usah kamu mintai pendapat."

"Kata siapa kamu bukan siapa-siapa? Kata siapa kamu tidak masuk itungan? Kata siapa kamu gak boleh ngasih saran? Sejak kapan PAC ini milik golongan tertentu? Golongan mana? Tidak ada! Kamu jangan ngada-ngada, Bud. Jangan nyebar berita hoax! Jangan nyebar fitnah! Kalau ada usulan, ya, ayo dirembugkan bersama!" 

Lho... Dia marah... [*]

Kata Siapa?

Oleh Tanggal 1/10/2020 04:35:00 pm
"Dari mana, Dul?" tanyaku. "Dari sana ke sini, Bud." jawab Abdul. Abdul ini anak yang unik, pemikirannya selalu s...
Ilustrasi: DNK.id

"Buk, saya Budi," kataku saat pertama kali bertemu dengan ibunya kekasihku.


Aku terasa kikuk saat bertemu dengan beliau. Namun, saat aku ke sana sudah mempersiapkan diri hidup dan mati. Bak anak Banser terjun ke Medan perang. 

"Eh,... Iya, Nak.. Sampean anunya Astila ya?" kata beliau dengan wajah kegirangan. 

Sampai saat ini, aku masih teringat dengan jelas wajah itu. Mata beliau terbelalak, senyumnya mengembang, wajahnya cerah, tubuhnya tidak berhenti kegirangan.

Uniknya, beliau bilang "anunya". Haha. Aku harus jawab apa ini? 

Entah bagaimana, semuanya kemudian mengalir begitu cepat. Ada banyak hal yang beliau tanyakan padaku. Ya, hal-hal formalitas terkait latar belakangku, dan tentang hubunganku dengan Astila.

"Astila saya ajak jalan dulu, nggeh, Buk?" izinku.

"Eh,.. Iya, ga papa...," jawab beliau masih dalam wajah kegirangan.

Rumah kekasihku nampak terasa semakin segar, sejuk, dan membuatku betah. Sialnya, kami masih sekedar pacaran. Belum menuju hal yang serius.

Sore itu kota Batu sedang mendung, namun tak kunjung hujan. Lalu lalang mahasiswa dari berbagai kampus menghantui kencan kami. Pengamen jalanan juga segan menghampiri kami untuk sekedar memberikan satu nomor lagu. 

"Yas, aku mau bilang sesuatu," kata Astila.

"Ya,.. Bilang aja, maniiis.." jawabku agak gregeten.

"Aku telat dua bulan.....,"[*]

Saat ini, aku sedang berjalan-jalan menyusuri bumi di kota Malang. Hari sudah malam, lampu-lampu penerangan jalan menghiasi trotoar dengan eloknya, udara segar menambah kenyamanan setiap penghuni kota ini. Sejenak kuperhatikan masih banyak pengendara motor, baik roda dua maupun roda empat, masih banyak berlalu-lalang —entah apa dan kemana tujuan mereka. 

Aku letih. Kulihat jam dinding di sebuah toko menunjukkan pukul 10 malam. Kuputuskan berteduh, mencari tempat untuk menyandarkan badan yang tua ini. Di bawah pohon besar —entah namanya pohon apa, aku tak tahu— ada amben terbuat dari bambu berukuran satu kali dua meter, ku putuskan untuk istirahat di situ.

Di tempat itu aku merasakan udara malam di kota Malang: dingin. Kubaringkan tubuhku dan meringkuk dengan ditemani nyamuk yang lapar. Pakaianku yang lusuh, entah berapa lama aku memakainya, satu-satunya yang paling setia menemaniku ke manapun aku pergi. 

Aku tertidur lelap. Aku bermimpi. Mimpi yang membawaku ke suatu masa yang sangat jauh ke depan. Masa yang kelak dikenal sebagai era digital dan globalisasi. Di dalam mimpiku, aku melihat sebuah negeri yang sedang chaos. Presidennya didemo besar-besaran oleh seluruh rakyatnya. Mereka menyebutnya gerakan Reformasi Jilid II.

Dalam demonstrasi itu, lebih dari 50 orang meninggal dunia, karena adanya kekerasan dari kepolisian; mahasiswa banyak yang diringkus polisi, karena terlalu frontal berorasi; gedung DPR-MPR penuh sesak oleh rakyat; di depan istana negara penuh dengan pemuda  yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa. Sangat mengerikan.

"Ada apa ini?" tanyaku kepada seorang petani yang ikut demo.

"Presiden akan kita lengserkan" jawab laki-laki berusia sekitar 40 tahun itu.

"Lha, kenapa kog dilengserkan?"

Pemuda itu menatapku sangat dalam. Dia menangis. Wajahnya penuh dengan kegelisahan, seperti telah disiksa bertahun-tahun dan tak pernah merasakan  keadilan dan kemakmuran.

"Buk, maaf," Ada yang membangunkanku. "Permisi, tempat ini mau saya pakai jualan sayur." Kata seorang perempuan paruh baya.

"Oh, iya. Maaf, aku hanya nunut istirahat semalam."

"Iya, ndak papa, Buk." 


Aku tersenyum, kemudian pergi. Hari sudah berganti. Matahari melai menampakkan dirinya. Manusia kembali sibuk dengan urusannya masing-masing, dan jalanan kembali ramai. 

Mimpi itu sangat jelas. Hampir seperti nyata. Namun itu terasa aneh, karena  baru kali ini aku mimpi hal semacam itu. Semoga mimpi itu tidak benar-benar terjadi. []

Reformasi Jilid II

Oleh Tanggal 11/16/2017 03:00:00 pm
Saat ini, aku sedang berjalan-jalan menyusuri bumi di kota Malang. Hari sudah malam, lampu-lampu penerangan jalan menghiasi trotoar den...

Hari ini, tanggal 6 Agustus 2017, tepat pada pukul 20.30 WIB, telah terlaksana Prosesi Pelantikan Pengurus Biruni. Pelantikan ini diadakan di Masjid dekat UM, yaitu di Jalan Jombang Gang I. Aku ikut bangga, karena aku juga termasuk peserta yang dilantik. Selain Biruni, ada juga Rayon lain yang bersama-saa ikut pelantikan, yaitu Rayon Maturidi dan Ghozali.

Pelantikan dipimpin oleh Pengurus Cabang Kota Malang. Dengan selesainya prosesi pelantikan, menandakan kami telah sah dan resmi menjadi Pengurus Rayon Biruni dan menjadi bagian dari Komisariat Liga. Dalam organisasi ini, aku masuk di bidang Kaderisasi, sama dengan bidang yang ketika aku jadi pengurus suatu organisasi di kampung dulu.

Biruni sekarang menjadi salah satu rumahku di Malang, setelah Gading dan Dieng. Di Biruni aku mengenal banyak teman dengan berbagai latar belakang dan bakat. Ada yang suka menulis, nyanyi, orasi, gambar, photografi, hingga PS-an. Di Biruni aku punyak banyak saudara baru, antara lain: Faisal, Faisol, Aufa, Deris, Fijay, Margo, Ilmi, Yustira, Aulia, Mia, Sahara, dan masih banyak lagi. Mereka semua ialah Pengurus Biruni 2017-3018 yang baru dilantik.

Ke depan, harapanku, Biruni bisa mendapatkan kader yang lebih banyak lagi dari periode yang lalu. Dan, karena aku masuk di bidang Pengembangan Kader, semoga kader-kader Biruni bisa memperlihatkan bakat mereka, di bawah arahan dan pendampingan Kaderisasi Biruni.

Sebentar lagi akan memasuki tahun ajaran baru 2017-2018. Maba mulai masuk (Ospek) pada tanggal 14 Agustus 2017. Dan besok (Senin, 7 Agustus 2017) akan ada  garakan Samba saat acara Registrasi Maba Jalur Mandiri TBK UM. Akan ada strategi khusus untuk menangani Samba. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan Maba dengan Biruni, bahwa Biruni pantas bagi Maba-Maba Islam yang ingin mengembangkan bakat mereka, apa pun bentuknya.

Sudah ya.. Aku ndak mau bicara banyak soal Biruni. Banyak hal yang tidak seharusnya jadi konsumsi banyak orang. Yang jelas, Biruni berafiliasi di Nahdlatul Ulama, dan organisasi mahasiswa yang paling dekat dengan Kiai dan Ulama. Insya Allah barokah.

Malang, 6 Agustus 2017
Syarif Dhanurendra




Rumah Baruku

Oleh Tanggal 8/06/2017 11:40:00 pm
Hari ini, tanggal 6 Agustus 2017, tepat pada pukul 20.30 WIB, telah terlaksana Prosesi Pelantikan Pengurus Biruni. Pelantikan ini diadak...