Aku Kudu Pye, Pak?


"Pak Budi,.." seorang mahasiswi datang menghampiriku saat aku sedang asyik mempermainkan harga diri rokokku di sebuah kafe.

"Iya, Nduk.. Pye?"

Mahasiswi yang satu ini termasuk manusia unik. Dia sudah saya anggap sebagai anakku. Entahlah. Kenapa aku punya sisi kebapak-bapak'an.

Dia duduk di sampingku sambil membawa es warna coklat yang entah apa namanya.

Sebagaimana seorang bapak bertemu anak, saya sedih jika melihat wajahnya yang buram.

"Ada apa?" saya tanya lagi.

Dia menjelaskan masalahnya. Ternyata dia sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki. Dan ingin menikah.

"Dia anak pondok, Pak. Namanya Cak Sunarto. Satu pondok sama sampeyan,"

Iya. Saya langsung ingat siapa yang dia maksud. Saya tahu wajahnya dan tahu orangnya. Tapi saya tidak kenal siapa dirinya. Wajarlah. Pondok segitu besarnya. Setiap tahun ada 200 santri yang masuk. Dan dia termasuk santri senior. Kira-kira, masuknya 4 tahun lebih awal dariku.

"Bagus itu! Lanjutkan!" kataku.

"Lha, masalahnya gini, Pak. Saat aku showan di salah satu Gus di kampungku, beliau mengatakan bahwa aku tidak cocok dengan Cak Sunarto ini,"

Waduh. Setahu saya, (kalau itungan jowo udah beres dan tidak masalah) showan gitu itu tidak mendiagnosis cocok atau tidak, boleh atau tidak. Harusnya memperlihatkan kurangnya apa kalau sama pemuda ini, nanti ke depan akan ada masalah bagaimana, dan apa yang harus dilakukan.

"Aku kudu piye, Pak?" dia memperlihatkan wajah melasnya.


Dia cerita bahwa dia sangat mencintai senior saya itu.

"Tapi aku, kok, merasa ada yang janggal ngunu lo, Pak. Lak ku nyenengi Cak iku kok nemen banget ngunu, lho. Mosok aku di-mahabbah-i, ya, Pak?"

Waduh-waduh... Kok wani-wanine melet anakku.

"Sek.. Tak delok'e," kataku. Kemudian saya pejamkan mata sambil menaruh tangan saya di atas kepala dia.

Saya katakan bahwa dia tidak di-mahabbah-i. Tapi saya sarankan, dia agar istikhoroh. 

"Sampeyan istikhoroh ae, Nduk. Tata caranya dan doanya silahkan baca ini," saya sodorkan HP yang berisi catatan Diniyah.

Istikhoroh itu, selain kita meminta petunjuk atas sebuah pilihan, kita juga akan merasa lega ketikan memutuskan untuk memilih sesuatu. Pilihan kita terasa lebih ringan. Hati terasa ayem dan marem walau pun bagi kita pilihan tersebut belum tentu manis.[*]


Ilustrasi: bahasakita.com

No comments:

Post a Comment