Reformasi Jilid II


Saat ini, aku sedang berjalan-jalan menyusuri bumi di kota Malang. Hari sudah malam, lampu-lampu penerangan jalan menghiasi trotoar dengan eloknya, udara segar menambah kenyamanan setiap penghuni kota ini. Sejenak kuperhatikan masih banyak pengendara motor, baik roda dua maupun roda empat, masih banyak berlalu-lalang —entah apa dan kemana tujuan mereka. 

Aku letih. Kulihat jam dinding di sebuah toko menunjukkan pukul 10 malam. Kuputuskan berteduh, mencari tempat untuk menyandarkan badan yang tua ini. Di bawah pohon besar —entah namanya pohon apa, aku tak tahu— ada amben terbuat dari bambu berukuran satu kali dua meter, ku putuskan untuk istirahat di situ.

Di tempat itu aku merasakan udara malam di kota Malang: dingin. Kubaringkan tubuhku dan meringkuk dengan ditemani nyamuk yang lapar. Pakaianku yang lusuh, entah berapa lama aku memakainya, satu-satunya yang paling setia menemaniku ke manapun aku pergi. 

Aku tertidur lelap. Aku bermimpi. Mimpi yang membawaku ke suatu masa yang sangat jauh ke depan. Masa yang kelak dikenal sebagai era digital dan globalisasi. Di dalam mimpiku, aku melihat sebuah negeri yang sedang chaos. Presidennya didemo besar-besaran oleh seluruh rakyatnya. Mereka menyebutnya gerakan Reformasi Jilid II.

Dalam demonstrasi itu, lebih dari 50 orang meninggal dunia, karena adanya kekerasan dari kepolisian; mahasiswa banyak yang diringkus polisi, karena terlalu frontal berorasi; gedung DPR-MPR penuh sesak oleh rakyat; di depan istana negara penuh dengan pemuda  yang menyebut dirinya sebagai mahasiswa. Sangat mengerikan.

"Ada apa ini?" tanyaku kepada seorang petani yang ikut demo.

"Presiden akan kita lengserkan" jawab laki-laki berusia sekitar 40 tahun itu.

"Lha, kenapa kog dilengserkan?"

Pemuda itu menatapku sangat dalam. Dia menangis. Wajahnya penuh dengan kegelisahan, seperti telah disiksa bertahun-tahun dan tak pernah merasakan  keadilan dan kemakmuran.

"Buk, maaf," Ada yang membangunkanku. "Permisi, tempat ini mau saya pakai jualan sayur." Kata seorang perempuan paruh baya.

"Oh, iya. Maaf, aku hanya nunut istirahat semalam."

"Iya, ndak papa, Buk." 


Aku tersenyum, kemudian pergi. Hari sudah berganti. Matahari melai menampakkan dirinya. Manusia kembali sibuk dengan urusannya masing-masing, dan jalanan kembali ramai. 

Mimpi itu sangat jelas. Hampir seperti nyata. Namun itu terasa aneh, karena  baru kali ini aku mimpi hal semacam itu. Semoga mimpi itu tidak benar-benar terjadi. []

No comments:

Post a Comment