Pertama Kali Hadir Maiyahan
"Kapan pulang, yank?" tanya kekasih saya via WhatsApp.
"Setelah kita punya rumah," jawab saya.
Pulang kemana? Pikir saya. Oke. Saya paham maksudnya. Dia ingin saya pulang ke rumah Ortu di kampung halaman. Sebab, dia juga ada di kampung, sedangkan saya ada di luar kota: Malang.
"Bangun, woy," tiba-tiba Imam menyenggol kaki saya. Saya terbangun. Emang kalau tidak ada kerjaan, tidak kuliah, kota semi lockdown, paling enak yang mbangkong.
Di masa karantina ini, saya usahakan selalu terjaga sampai subuh. Setelah sholat shubuh, baru tidur. Dan dhuhur baru bangun. Cari aman agar shubuh ndak kesiangan.
Entah kenapa, siang ini saya sangat rindu dengan Mbah Nun. Laptop saya nyalakan, youtube saya buka. Kenduri Cinta (KC) dengan tema "Nabi Dholim" saya putar. KC adalah salah satu simpul maiyah yang berlokasi di Jakarta.
KC manurut saya adalah simpul maiyah yang paling terbuka bahkan radikal dalam berpikir mengenai makna kehidupan dan kesejatian hidup. Beda dengan padhangmbulan (PB).
"Kan ada tiga: nyata, fakta, makna. Jadi saya kira harus kita resume. Jadi yang sebenarnya nyata itu yang fakta atau yang makna?" tanya Mbah Nun kepada anaknya. (Kejelasan resolusi konteks diskusi bisa diputar pada link ini).
"Sepemahaman saya, sebenarnya, yang nyata itu adalah pemaknaan kita terhadap fakta. Bukan fakta-nya sendiri," terang Sabrang.
Dia memisalkan mengenai tanah. Tanah itu sama-sama tanah, kita akan bereaksi berbeda kalau itu tanah orang lain atau tanah warisan. Cukup jelas kayaknya.
Itu cuplikan diskusi di forum maiyah. Partama kali saya hadir maiyahan adalah di bangbangwetan Juni 2015, simpul maiyah yang ada di Surabaya. Saat itu temanya adalah RA[b]BI. Saat itu saya sedang mengisi hari-hari nganggur pasca lulus SMA. Selama hampir satu minggu di Surabaya. Dan pas waktu itu pas Mbah Nun ada jadwal di 3 tempat di Surabaya. Itulah awal saya hadir langsung maiyahan.
Padhangmbulan menjadi simpul kedua yang saya ikuti. Padahal, padhangmbulan ini ada di Jombang. Jauh lebih dekat dari rumahku ketimbang BbW. Dan padhangmbulan ini adalah sumur maiyah. Awal dimulainya maiyahan. Di ndalemnya orangtua Mbah Nun di Menturo-Sumobito-Jombang.
Sebelum kuliah di Malang, saya sering ke padhangmbulan. Namun, akan sangat terasa perbedaan antara bangbangwetan dengan padhangmbulan. Terutama dalam bahasa. PmB jauh lebih sopan, kalem, jarang ada mesoh, bahkan kadang nyaris tak ada sama sekali. Lain halnya dengan BbW. Wajar, Surabaya memang agak keras dalam penggunaan bahasa. Apa lagi Surabaya banyak dihunit anak-anak rantau, bonek, dan anak jalanan.
"Kok gak muleh ae?" tiba-tiba ada WA masuk ke HP saya. WA dari kakak saya di rumah. "Big bos takok," tambahnya.[*]
No comments:
Post a Comment