72 Tahun Ibu Pertiwi: Sudahi Konflik atau Hancur!


Setiap manusia pasti menginginkan hidup aman, nyaman, dan sejahtera, demikian pula dengan bangsa Indonesia. Gagalnya masa kerajaan kuno dalam menjalankan roda kepemimpinannya menyisakan ingatan pahit bagi periode penerusnya. Beberapa kerajaan memang masih bertahan hingga saat ini, namun kerajaan itu dirasa kurang mampu memikul seluruh kepulauan di Indonesia ini. Hal tersebut tampak ketika datangnya bangsa Barat ke nusantara, banyak kerajaan-kerajaan yang akhirnya runtuh ketika perang melawan penjajah. Selain itu, beberapa kerajaan, bahkan, malah membuka gerbang mereka untuk melakukan kerjasama dalam rangka meningkatkan kekayaan kerajaan.

Namun, walau pun banyak kerajaan yang runtuh, bangsa Indonesia masih tetap semangat memperjuangkan kemerdekaan. Maka muncullah tokoh-tokoh pergerakan/perjuangan, baik nasional maupun lokal, diantaranya Cut Nyak Dien, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Trunajaya, dan masih banyak lagi. Jasa perjuangan mereka harus terus diingat oleh generasi saat ini, agar bangsa ini tidak disebut bangsa yang lupa akan asal-usulnya.

Memasuki abad ke-20, pergerakan pemuda Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Perhatian para pemuda untuk meraih kemerdekaan terus memuncak. Mereka membentuk organisasi-organisasi kepemudaan dan orgaisasi sosial masyarakat sebagai wadah menghimpun kekuatan. Akhirnya lahirlah Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain. Dan muncullah tokoh-tokoh seperti HOS Cokro Aminoto, Soekarno, Hatta, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Ahmad Soebardjo, dan lain sebagainya.

Para tokoh tersebut tidak serta-merta berdiam diri, mereka melakukan pergerakan yang massif di ranah mereka masing-masing. Secara garis besar, tokoh-tokoh tersebut dibagi menjadi tiga golongan: pertama golongan Nasionalis; kedua, golongan Komunis; ketiga, golongan Islamis-Nasionalis. Namun, walau pun mereka tidak dalam satu golongan, tapi mereka tetap mengutamakan kepentingan nasional. Perdebatan memang sering timbul di antara mereka, namun hal tersebut muncul dalam rangka mencari 'apa yang benar', bukan 'siapa yang benar'.

Sambil berjalannya waktu, kemudian terbentuklah BPUPK dan disusul PPKI. Dalam dua organisasi tersebut, pihak Jepang masih ikut campur. Sehingga para golongan muda menyepakati untuk tidak mengatasnamakan PPKI ketika Proklamasi dikumandangkan. Hingga kemudian terjadilah peristiwa Rengasdengklok. Sekali lagi, ini terjadi tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Proses dan strategi yang matang dan menguras tenaga tentu dikorbankan oleh para tokoh tersebut.

Kemudian, setelah 72 tahun dari peristiwa Proklamasi, bangsa Indonesia belum benar-benar merasakan nikmatnya kemerdekaan. "Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama," masih terus berjalan hingga detik ini. Memang, secara administratif, seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah menjadi wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, namun Pemerintah Indonesia (dalam wilayah tertentu) tidak sepenuhnya bisa menguasainya.

Politik pecah belah, sering kali diluncurkan oleh negara lain, sehingga berdampak perang saudara sesama anak bangsa; isu agama dan suku masih sering muncul untuk memporak-porandakan Indonesia; perang antar golongan juga ikut menghiasinya. Hal tersebut mengindikasikan betapa ketidakmatangan berpikir para tokoh agama dan politik di Jakarta. Hingga rakyat kecil menjadi korbannya. Setiap hari rakyat jelata disuguhi pertikaian-pertikaian wakil rakyat dan elite politik yang memalukan dan sangat kekanak-kanakan. Sungguh hal tersebut tidak mencerminkan seorang negarawan.

Konflik antar partai, antar ormas, dan antar suku harus segera disudahi. Kepentingan rakyak, keamanan nasional, dan keadilan yang merata harus diutamakan. Saatnya bangsa Indonesia bersatu, merumuskan langkah-langkah ke depan demi keberlangsungan anak-cucu bangsa ini. Jika keributan ini tidak segera disudahi, maka cepat atau lambat Indonesia akan hancur, dan akan ada pertumpahan darah (semoga tidak terjadi).

Peristiwa yang memanas dalam sepuluh bulan terakhir ini harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Kemudian, bersama dengan Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia, mari kita mulai rapatkan barisan, kita buang sikap saling mencurigai. Mari duduk bersama menyongsong terbitnya sang mentari di esok pagi.

Semua tahu dan sadar, bahwa bangsa ini memiliki banyak intelektual atau kaum cendekiawan. Namun, hal itu tidaklah cukup untuk menata dan memimpin negara sebesar ini. Kita masih butuh orang-orang sepuh yang bisa menuntun dan mengarahkan. Kita butuh sesepuh yang bisa mengayomi seluruh golongan, tanpa pilih kasih. Karena pertikaian-pertikaian yang terjadi di negara ini, ialah disebabkan oleh tidak adanya orang yang disepuhkan, atau pemimpin sejati.

Semoga di 72 tahun kemerdekaan Indonesia ini, bangsa Indonesia kembali menemukan jati dirinya, pemerintah dibukakan hatinya untuk berempati kepada rakyat, dan mahasiswa bisa menempatkan kembali posisinya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Selamat ulang tahun Ibu Pertiwi, semoga engkau semakin membaik dalam segala hal.


Malang, 3 Agustus 2017
Syarif Dhanurendra



No comments:

Post a Comment