Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts

Pengalaman baru dalam dolanan blog hari ini adalah mengenai warning "Not Secure". Blog ini berubah menjadi "not Secure" sejak tadi malam. Saya bingung 😕. Mau benahin, tidak bisa. Mau ganti blog, tapi kok eman-eman dengan yang ini. 

"Biarkan aja. 'Kan tidak ada isi yang benar-benar privat sehingga aman jika diakses oleh publik. Kalau ada yang nge-hack, brarti blog kamu ada peminatnya," kata temanku.

Okelah kalo gitu. Saya lanjut aja blog ini. Toh isinya ya barang receh. Unfaedah semua. Penting tetap bisa upload tulisan. Lumayan, buat ngisi kegabutan ditengah wabah Covid-19 yang semakin menghawatirkan di Kota Malang ini.

Saat ini Kota Malang semakin menunjukkan kesepiannya. Kampus-kampus sepi. Sekolah pada libur. Warung kopi tutup semua, kecuali Tante. Ada beberapa warung kopi yang buka, tapi jam 8 malam udah tutup. WiFi kampus dimatikan. Listrik untuk cas laptop dipadamkan. Kampus lockdown.

Teman-temanku sudah seminggu yang lalu pada pulang kampung. Sekarang di C99 tinggal kami berdua: saya dan Imam. Anak-anak rayon pada pulkam. Rayon dan komisariat lockdown juga. 

Kerjaan gak ada. Skripsi masih nyendat. Gabut banget rasanya. Trus mau ngapain kalo ndak ngeblog? Sumpek, brow!


Sumber gambar: Twitter/yogantfirman
Kalau anak pemrograman harus menuliskan kalimat pertama dengan "Hello World!" dalam website mereka, namun saya langsung menulis kalimat yang tak jelas arah dan tujuannya.
Nge-blog sudah sejak dulu menjadi hobi saya. Entah pertama kali terinspirasi oleh siapa, saya sudah lupa. Mungkin semua ini berawal dari efek domino kebiasaan kakak pertama saya yang suka baca buku. Dia kuliah di UNESA, dan setiap pulang ke rumah membawa buku-buku untuk dituangkan ke otak adik-adiknya. Jenis bukunya sangat beragam. Mulai dari kumpulan puisi, kumpulan cerpen, kumpulan esai ringan, novel, hingga buku yang membahas masalah kaifiyah sholat dan amaliyah Nahdliyyin yang dimusyrik-musyrikkan. Buku-buku itu mulai saya telan sejak kelas 3 SMP, tahun 2011.

Nge-blog bisa membuat saya tenang. Sebab coretan-coretan dalam dekstop ini bisa merobohkan kepenatan pikiran yang menggumpal dalam otak saya. Di blog, saya bisa terjun bebas dengan membawa semua masalah itu. Tanpa harus ada sensor sana sini. Tentu dengan batasan gak nulis sak karepe udele dewe. Jangan sampai tulisan kita di blog ada yang merugikan pihak lain.

Oh, iya. Saya juga ingat, kakak saya mengenalkan salah satu platform blog milik kompas yang dapat dibuat oleh siapapun, yaitu kompasiana. Nah, disitulah saya mulai menulis blog. Ini tulisan pertama saya di kompasiana "Dua Rahasia Bangsa Yunani di Panggung Sejarah Peradaban Dunia". 

Terkait kata-kata motivasi untuk menulis sudah sangat banyak masuk ke otak saya. Jelas itu juga berpengaruh, namun ada satu hal lagi yang lebih berpengaruh, yakni adalah penulis-penulis yang aktif membuat konten di blog pribadinya maupun website manajemen. Misal, ada Mbah Nun di caknun.com, Gus Mus di gusmus.net, Gus Nadir di nadirhosen.net. Selain itu, ada pula Dee Lestari di deelestari.com, Agus Mulyadi di agusmulyadi.web.id, atau saudara kembar saya, Em Ruddy, di msyairuddin68.blogspot.com, dll.

Kalau anak pemrograman harus menuliskan kalimat pertama dengan "Hello World!" dalam website mereka, namun saya langsung menulis kalimat yang tak jelas arah dan tujuannya. Mungkin, ya, karena saya bukan anak pemrograman.

Blog ini akan kembali saya rawat. Semoga bisa konsisten membuat konten. Terserah tangan saya mau mengetik apa. Pokok saya tulis!

Malang, 25 Maret 2020 

_________________________
Sumber foto: www.febriyanlukito.com

"Mau dong credit blog bawaan template gratif diganti dengan nama kita."

Mengganti credit footer template gratisan memang hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Sebab, itu bukan karya kita. Namun, sebagai pembelajaran agar kita bisa main-main dengan coding, bolehlah ini dilakukan. 

Tulisan ini saya tulis untuk mengingat ilmu satu ini. Sebab, jika tidak saya tulis, besar kemungkinan saya akan lupa.

Oke. Bagaimana cara mengganti credit footer agar tidak redirect?

Ini khusus untuk SoraTemplates, ya. Biasanya templates yang lain beda caranya. 

Pertama, kita download dulu file XML dari template blog. 

Kedua, kita buka aplikasi notepad++. Jika belum punya, silahkan download aplikasinya terlebih dahulu di SINI. Selain aplikasi notepad, kita juga butuh aplikasi Mazilla, jika belum punya silahkan download di SINI.

Selanjutnya, silahkan nonton tutorial di video berikut ini:


Selamat mencoba!

Tulisan ini Saya tulis di bulan Puasa 2019 dan telah terbit di Geotimes (8/5/2019) yang berjudul Puasa Tiba, Ulama dan Petinggi Negeri Harus Menyejukkan Suasana.
Bulan puasa sangat penting bagi seluruh umat muslim di manapun ia berada, tak terkecuali di negara kita, Indonesia. Bulan puasa adalah bulan yang penuh berkah, tak hanya bagi umat muslim saja, namun keberkahan bulan puasa juga dirasakan oleh non muslim.
Tahun ini, bulan puasa bertepatan dengan adanya pengumuman terkait hasil Pilpres 2019 di negara kita, lebih tepatnya tanggal 22 Mei 2019. Puasa yang seharusnya menjadi wadah untuk memperkaya ibadah, namun harus bersinggungan dengan atmosfir politik sedemikian tebalnya.
Menahan diri untuk tidak makan dan minum serta berhubungan suami isteri mulai terbitnya fajar shodiq (shubuh) hingga tenggelamnya matahari (maghrib), tidak cukup untuk menjadi rem dari cepatnya nafsu politik. Apa lagi ulama dari berbagai ormas Islam pun juga ikut andil secara langsung dalam percaturan politik kali ini.
Bulan puasa menuntut umat muslim untuk melawan dan menahan segala hawa nafsu dan berbuat dosa, misalnya: berbohong, memfitnah, menyebar kebencian, atau mengumpat kepada sesama manusia.
Jika hal ini diterapkan oleh seluruh umat muslim di negara ini, kesejukan bulan puasa akan benar-benar terasa sampai ke pelosok-pelosok desa. Keruhnya atmosfir perkotaan juga akan semakin tidak terasa, sebab hati masyarakat kota sudah sejuk melihat tokoh pemuka agama sudah benar-benar kembali pada jalurnya.
Bulan puasa adalah waktu yang tepat untuk mempuasai hasrat politik untuk berkuasa dan hasrat untuk mengalahkan. Untuk politikus, sudah seharusnya bulan puasa dapat mereda tensi yang sempat memanas selama Pilpres berlangsung. Apa lagi, pengumuman terkait hasil Pilpres juga akan diumumkan dalam bulan ramadhan.
Para pimpinan partai politik dan pejabat tinggi di negeri ini, harusnya mencerminkan pribadi yang berjiwa luhur, sebagaiman seharusnya seorang negarawan. Setiap kata yang keluar dari ucapannya adalah petuah dan arahan yang baik dan menyejukkan. Tidak perlu memperkeruh keadaan.
Apa lagi tokoh agama atau ulama, bulan puasa harusnya dapat mengingatkannya untuk ikut andil menyejukkan suasana negara yang kacau ini. Jika dari tokoh agama saja tidak bisa mencerminkan hal yang baik, sehingga menimbulkan kegaduhan dalam sekala nasional, maka perlu ditinjau kembali status keulamaannya.
Menyoal terkait Pilpres 2019, kita tahu bahwa kedua paslon sama-sama memiliki pendukung dari kalangan ulama. Pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin didukung oleh Mbah Maimoen, Said Aqil, Yusuf Mansur, TGB, Kyai Anwar Mansyur Lirboyo, dan masih banyak lagi.
Di sisi lain, pasangan Prabowo – Sandi didukung oleh Habieb Rieziq Shihab, KH Abdul Rosyid Abdullah Syafii, Ustadz Yusuf Muhammad Martak, Ustadz Ahmad Haikal Hasan, Ustadz Muhammad Al-Khatat, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, dan Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, Ustaz Zaitul Rasmin, Ustaz Slamet Maarif, KH Sobri Lubis, Ustaz Bachtiar Nashir.
Memilih untuk memihak salah satu paslon adalah hak dan boleh untuk dipublikasikan. Akan tetapi, keberpihakan pada salah satu paslon jangan sampai hanya tinggal diam jika paslon atau tim pemenangannya melakukan kegaduhan yang berdampak hingga skala nasional. Sebagai ulama yang berada di tengah-tengah para politikus, sudah seyogyanya untuk menjadi peredam jika ada potensi kekacauan.
Setiap saya melihat para ulama nasional di negeri ini saling bersilang pendapat dalam hal politik, saya masih maklum. Namun, lahirnya ucapan-ucapan dari ulama yang kemudian dapat memicu perpecahan horizontal di bawah, itu adalah sebuah ironi yang membuat saya prihatin kepada mereka semua dan bangsa ini.
Dewasa ini, umat muslim Indonesia semakin krisis akan adanya sosok ulama yang bisa dijadikan sebagai suritauladan. Saya sebagai anak desa, cenderung mengabaikan petuah-petuah ulama nasional, dan memilih mendengarkan pengajian dari kyai saya di pondok dekat rumah.
Walau pun beliau tidak pernah diekspos di media apa pun dan hanya masyarakat desa yang mengenalnya, namun marwahnya sebagai seorang kyai masih sangat kuat. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi poin penting nan berbobot secara spiritual keagamaan. Beliau benar-benar fokus membimbing santri-santri di desa dan tidak mau ikut campur lebih jauh dalam urusan politik yang kacau balau ini.
Para kyai di desa berpuasa sepanjang masa untuk menghindar dari hiruk pikuk politik di negeri ini. Masih banyak kyai di desa saya yang benar-benar menghindari tiga hal yang berkaitan dengan politikus dan pejabat.
Tiga hal tersebut adalah tidak menerima uang dari mereka, tidak duduk dalam satu majelis dengan mereka, dan terlebih-lagi tidak ngobrol dengan mereka. Hal tersebut bukan semata-mata menilai bahwa politik adalah kotor atau dosa, akan tetapi lebih dari menjaga diri agar tidak terseret pada ‘arus rusuh’ yang sering berpotensi dilakukan oleh para politikus di negeri ini. Dan santri yang mengaji kepadanya pun semakin mantap mengikuti petuahnya, sebab apa yang diucapkan sudah benar-benar diterapkan dalam kehidupan sang kyai desa ini.
Memang hal tersebut beda ranahnya. Namun, perilaku egois harusnya bisa dipakai di ranah mana pun. Menolak berpihak kepada Prabowo tidak perlu kemudian mengeluarkan kata-kata yang menyakiti pihak Prabowo, sehingga membuat mereka marah pula kepada pihak Jokowi. Demikian pula sebaliknya.
Jika ini dipelihara terus oleh tokoh agama atau ulama di negeri ini, tak ayal, setiap Pilpres lima tahun sekali tersebut akan selalu marak dengan adanya pertentangan sesama ulama dan kepercayaan masyarakat kepada ulama pun akan melemah. Akibatnya, bangsa Indonesia khususnya yang beragama Islam akan kehilangan sosok pengayom yang harusnya mereka mintai arahan dan wajangannya.


Sumber: tempo.co

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Peta berpikir Amerika Serikat meletakkan almarhum Gusdur setataran dan se”wilayah jihad” dengan Martin Luther King Jr. Consulate General of the United States of America di Surabaya “memproklamasikan” itu dalam  acara “Tribute to Gusdur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism Diversity and Democracy”.
Penyelenggara menerapkan kearifan nilai yang perlu diteladani, dengan meletakkan saya yang ber-track-record di wilayah perjuangan kedamaian, pluralisme dan demokrasi – justru sebagai pendamping pembicara utama, yakni Alissa, putrinya Gusdur sendiri.
Martin Luther terkenal dengan ungkapannya “I have a dream”, Gusdur termasyhur dengan statement “Gitu saja kok repot” yang “njangkungi” Indonesia, dunia dan kehidupan.
“Jangkung” artinya tinggi. “Njangkungi” atau menjangkungi artinya mengatasi, membereskan, mengungguli, mrantasi. Sebesar-besar masalah, setinggi-tinggi persoalan, “dijangkungi” oleh Gusdur. Martin Luther King masih berposisi “Aku mendambakan”, Gusdur “sudah mencapai”. Gusdur berbaring sambil senyum-senyum dan nyeletuk “Gitu saja kok repot”.
Wakil dari komunitas Konghucu menangis-nangis terharu oleh kasih sayang Gusdur yang membuat mereka memperoleh ruang dan kemerdekaan menjadi dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa tokoh HMI dan Muhammadiyah, yang ber”nasab” Masyumi, mendatangi saya di pojok ketika istirahat ngopi: “Cak, Konghucu bagian enak. Kami ini yang dapat asem kecut. Gusdur tidak pernah bersikap enak kepada semua yang indikatif Masyumi. ICMI belum berdiri saja sudah dimarah-marahin oleh Gusdur…”
Saya menjawab, “itu justru karena Gusdur meyakini kalian sudah sangat mandiri dan kuat, sehingga tidak perlu disantuni, malah dikasih tantangan, kecaman dan sinisme, supaya bangkit harga diri kalian”.
Peta politik, perekonomian, kebudayaan dan apapun, sangat dikendalikan oleh konstelasi kedengkian kelompok, kepentingan sepihak dan kebodohan publik, yang menciptakan mapping gang-gang dan jejaring inter-manipulasi subyektif golongan. Atas dasar psiko-budaya politik semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan dirumuskan. Barang siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal konstitusional: kaum independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.
Maka kepada teman-teman yang mengeluh itu saya berfilsafat: “Kalau Anda kain putih, kotoran sedebu akan direwelin orang. Kalau ada gombal bosok, kotor seperti apapun tidak dianggap kotoran. Tinggal Anda mau milih jadi kain putih atau gombal”.

HAM

Di samping HAM, ada WAM: wajib asasi manusia, tapi tidak saya tulis di sini. Yang pasti Martin Luther King adalah “Mbah”nya semangat HAM, Gusdur penikmat HAM. Martin Luther berjuang memerdekakan manusia, Gusdur adalah manusia paling merdeka. Kalau pakai idiom Islamnya Gusdur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap “da’wah bilisanil qoul” (menganjutkan dengan kata-kata), sedangkan Gusdur “amal bililasil-hal” (melakukan dan menteladani dengan perilaku).
Andaikan yang didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin Luther King tetap begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan memperjuangkan hak-hak kaum hitam di Amerika, melainkan menempuh perjalanan menuju keadilan universal bagi seluruh dan setiap ummat manusia. Bukan “hitam”nya yang dibela, melainkan “hak kemanusiaan”nya. Bukan kulitnya, tapi manusianya.
Atas aspirasi pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gusdur, Pasukan Banser selalu siap siaga menjaga Gereja-gereja setiap Natal atau hari penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah pelatihan-pelatihan iman, uji militansi dan ketahanan juang. Kaum Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh keyakinannya.
Gusdur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya, namun sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri, dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya Jombang, agar supaya anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu “diancup-ancupno ndik jeding” (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi), “dibatek ilate” (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau “disambleki mbarek sabuk lulang” (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).

Diskriminasi

Kehidupan ummat manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin memang selamanya demikian, selalu hiruk pikuk oleh silang sengkarut diskriminasi, berbagai-bagai jenis, konteks dan modus diskriminasi. Ada diskriminasi rasial, diskriminasi kultural, diskriminasi eksistensial, diskriminasi primordial, bahkan diskriminasi teologis dan natural. Peristiwa diskriminasi penuh ambiguitas, melingkar-lingkar, berlipat-lipat, letaknya bersama keadilan universial seringkali berdampingan, bahkan teramu menjadi sebuah kesatuan.
Mungkin sekali diskriminasi dijelaskan dengan terpaksa menerapkan diskriminasi di sana sini. Diskriminasi adalah aplikasi ketidakadilan pada konteks-konteks yang berkaitan dengan identitas, eksistensi, letak keberadaan atau posisi dalam peta kehidupan. Sedangkan keadilan dan ketidakadilan adalah puncak ilmu dan misteri yang mungkin saja tak pernah benar-benar bisa dijangkau oleh managemen logika manusia. Oleh karena itu kita tak boleh pernah berhenti mencari dan memperjuangkannya.
Sampai hari ini yang kita capai baru “sorga seseorang adalah neraka bagi lainnya”. Orang Jawa bingung tidak ada kata asli Jawa untuk “adil”. Yang ada “pas” (akurat, tepat), “empan papan” (proporsional). Peradaban Jawa sangat beraksentuasi ke kebudayaan estetika atau “keindahan”, sementara “kebenaran” dan “kebaikan” adalah bagian dari rangkaian peradaban keindahan Jawa, yang puncaknya adalah “mamayu hayuning bawana”: memperindah keindahan jagat raya.
Sehingga dalam praksis budaya masyarakat Jawa muncul etos “jangan mo-limo, nggak enak sama tetangga”, “silahkan maling, tapi jangan di sini”. Jadi akar masalahnya bukan pada hakekat kebenaran dan kebaikan, melainkan pada upaya untuk “tampak indah”.  Yang disepakati adalah norma kolektif untuk tampak indah, bukan substansi nilai kebenarannya. Maka politik pencitraan sangat diterima dengan tenteram oleh jenis kebudayaan ini, meskipun jelas pencitraan adalah penipuan dan pemalsuan.
Kalau dua anak kita belikan baju dengan warna yang sama, itu diskriminatif terhadap hak estetika mereka. Kalau kita bebaskan mereka memilih selera masing-masing, nanti perbedaan harga antara dua baju itu mengandung diskriminasi. Kita bikin kurungan kecil untuk burung dara dan kandang sangat besar untuk gajah: terjadi diskriminasi pada “yang satu dapat gede, lainnya kecil”. Puluhan Parpol tidak lolos-KPU karena parameter teknis-kwantitatif, sehingga anggota Parpol yang tidak lulus memperoleh dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan aspirasi orisinalnya dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya sendiri dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan dengannya. Kalau yang independen, sekali lagi: tiada.
Diskriminasi eksistensial bercampur aduk dengan konteks diskriminasi kultural, teologis dan berbagai-bagai lainnya. Diskriminasi terjadi ketika kerbau diperlakukan sebagai kambing. Ketika Pemerintah disamakan dengan Negara. Ketika rakyat malah melayani Pemerintah. Ketika manusia diberhalakan, ketika Tuhan dikategorikan sebagai dongeng, atau ketika dongeng dituhankan. Ketika sapi kita potong buntutnya doang karena warung kita jualan sop buntut. Ketika manusia melintas di depan kamera yang dipotret hanya borok di bokongnya. Ketika bungkus gula di warung tidak ditulisi “Gula dapat menyebabkan sakit gula”.
Bahasa jelasnya, sejarah bukan tidak mungkin mencatat tokoh yang banyak melakukan tindakan diskriminasi justru sebagai tokoh anti-diskriminasi.
Bangsa Amerika sudah melewati kurun waktu lebih panjang untuk lebih bisa meletakkan Luther King pada makam sejarahnya, sementara Bangsa Indonesia memerlukan waktu lebih panjang untuk memastikan posisi Gusdur, apalagi kita sedang mengalami “era abu-abu” di mana masyarakat mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh kebangsaan mereka. Kita mengalami ambiguitas pandangan yang sangat serius kepada Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya termasuk M. Natsir, Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka, juga Gusdur. Di Jombang semula akan diresmikan “Jalan Presiden Abdurahman Wahid”, sekarang kabarnya kata “Presiden”nya dihilangkan.
Utamanya kaum Nahdliyin (ummat NU) perlu menggiatkan upaya-upaya ilmiah obyektif, penelitian yang seksama dan detail mengenai sejarah sosial Gusdur. Secara keseluruhan Ummat Islam perlu membuktikan kejernihan intelektual dan keadilan sejarah untuk membuka wacana-wacana adil kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang. Pameo “sejarah itu milik mereka yang menang” perlu ditakar prosentasenya pada peta pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.
Para pecinta Gusdur juga perlu segera mengeksplorasi upaya penelitian sejarahnya, untuk mendapatkan ketegasan persepsi tentang Gusdur. Perlu ada semacam “Buku Besar Gusdur” tentang benar-salahnya beliau selama kepresidenannya dan impeachment atas kedudukan beliau. Dipertegas data-data sejarah dan fakta-fakta sosial di mana dan kapan saja Gusdur memperjuangkan keadilan, mendamaikan bangsa, dan mempertahankan kejujuran kemanusiaan. Dibuktikan secara faktual dan detail bahwa Gusdur adalah pluralis pemersatu: Pada peristiwa apa, kapan, di mana, Gusdur mendamaikan dan mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan faktual untuk tegas menjawab pertanyaan sinis: “Sebutkan apa saja yang tidak pecah setelah Gusdur hadir”.
Terkadang ada niat saya bertanya langsung kepada Gusdur di alam barzakh soal ini, tapi kwatir dijawab “Gitu aja kok repot!”. Di samping itu saya kawatir juga karena di alam sana Marthin Luther King tinggal sewilayah dengan Gusdur, maka orang-orang memanggilnya “Gus Martin”.
Oleh: Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Tulisan ini dimuat Opini Kompas, Senin, 25 Februari 2013