Showing posts with label Kolom. Show all posts
Showing posts with label Kolom. Show all posts
86 
Sumber : http://intisari.grid.id 
 
Di Indonesia, semarak kegiatan Agustusan sangat meriah hingga menimbulkan atmosfir tersendiri bagi masyarakat. Di setiap kecamatan dan desa, pasti ada kegiatan yang diselenggarakan dengan maksud memeriahkan HUT RI tersebut, misalnya: lomba panjat pinang, memancing, sepeda hias, sepak bola, catur, dan lain sebagainya.

Tahun lalu (2016), aku menikmati atmosfir Agustusan di Kampusku tercinta, Universitas Negeri Malang - UM. Yapss.. Saat itu, aku sedang menikmati masa-masa PKKMB (Perkenalan Kehidupan Kampus untuk Mahasiswa Baru) atau biasa disebut Ospek. Ospek di UM sangatlah bersahabat. Jauh dari kata perploncoan, setidaknya itu yang kurasakan.

Saat bertepatan tanggal 17 Agustus 2016, panitia Ospek tingkat Universitas menyelenggarakan Upacara Detik-detik Proklamasi juga di Gedung Graha Cakrawala. Gedung yang berisi sekitar 6500 mahasiswa itu bergetar oleh lagu Indonesia Raya. Semua berdiri tegak, hormat terhadap sang bendera, "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya," demikian Maba-maba itu menikmati lagu Indonesia Raya dengan penuh hikmat, dan aku berada di tengah ribuan Maba tersebut.

Sekarang (2017), aku menikmati Agustusan di Malang lagi. Namun, sudah tidak dalam suasana Ospek. Kini aku menikmati Agustusan dengan 'melihat dan mengamati Indonesia'. Aku mengamati Presiden, Para Menteri, DPR, elite Parpol, Tokoh Ormas Islam, Ormek, hingga pamong-pamong klurahan di sekitarku. Tujuannya bukan apa-apa, hanya untuk menumbuhkan kepekaan intelijen diriku sebagai Mahasiswa Jurusan Sejarah. So, bukan untuk apa-apa. Namun, aku yakin, semua pengamatanku ini akan berguna di hari esok.

Selain itu, aku juga berusaha aktif di Pondok Gading, suatu Pondok Salaf yang mayoritas santrinya ialah mahasiswa. Pondok ini ada di dekat UM, 15 menit jalan kaki dari UM. Pondok Gading mengajarkanku banyak hal tentang cara bersikap di masyarakat. Budaya pondok yang masih sangat kental akan kultur budaya Jawa tersebut ialah pondok mahasiswa yang paling salaf dan paling ketat se-Maang Raya, sekaligus yang paling tua usia pondoknya. Aku sudah mulai cocok dengan pondok ini.

Dalam bulan Agustus, santri Pondok Gading tetap melakukan aktifitas sehari-hari seperti biasanya. Gading punya cara tersendiri dalam memperingati HUT RI, ialah do'a bersama untuk bangsa dan negara. Sedangkan masyarakat sekitar pondok, memeriahkannya dengan perlombaan sederhana ala bapak-bapak dan ibu-ibu. Bagiku, bagaimana pun cara mengekspresikan rasa syukur atas kebikmatan kemerdekaan, yang terpenting ialah mereka sudah memperlihatkan betapa cintanya mereka terhadap bangsa dan negara ini. So, bagi semua pihak, khususnya pemerintah, janganlah engkau menciderai atau melukai hati rakyat yang begitu cinta dengan ibu pertiwi ini, atau kalian akan menyesal.

Banyak contoh dari prilaku dan sikap melukai hati rakyat, antara lain: (1) memakan uang rakyat yang telah susah payah membayar pajak; (2) suka mengumbar janji tanpa merealisasikan; (3) mencekik rakyat dengan menaikkan berbagai harga kebutuhan pokok, apa pun alasannya; (4) menipu rakyat melalui media massa untuk kepentingan pribadi dan golongan; (5) mengeluarkan Perppu sewenang-wenang tanpa berpikir panjang; (6) merampas hak-hak rakyat dan senantiasa memaksa rakyat untuk memenuhi kewajibannya. Sungguh, aku jijik menyaksikan aparat negara/pemerintah bertindak seperti itu. Aku jijik tidak pada orangnya, namun pada prilakunya. Sangat tidak pantas dijadikan panutan. Manusia memang tempat salah dan lupa, namun jika setiap hari melakukan salah tanpa ada rasa bersalah, maka (maaf) dia tidak pantas disebut manusia.

Semoga Pemerintah RI senantiasa diberi kesehatan oleh Tuhan, diberi kekuatan dalam menjalankan tugas-tugas negara, dan selalu diingatkan jika mereka mendholimi rakyatnya. Kemudian, semoga rakyat RI semakin cerdas memilih pemimpin, pengelola negara, dan orang-orang yang memperjuangkan aspirasinya (DPR). Selamat HUT RI ke-72. Salam Persaudaraan.!!

Malang, 7 Agustus 2017
Syarif Dhanurendra

Setiap manusia pasti menginginkan hidup aman, nyaman, dan sejahtera, demikian pula dengan bangsa Indonesia. Gagalnya masa kerajaan kuno dalam menjalankan roda kepemimpinannya menyisakan ingatan pahit bagi periode penerusnya. Beberapa kerajaan memang masih bertahan hingga saat ini, namun kerajaan itu dirasa kurang mampu memikul seluruh kepulauan di Indonesia ini. Hal tersebut tampak ketika datangnya bangsa Barat ke nusantara, banyak kerajaan-kerajaan yang akhirnya runtuh ketika perang melawan penjajah. Selain itu, beberapa kerajaan, bahkan, malah membuka gerbang mereka untuk melakukan kerjasama dalam rangka meningkatkan kekayaan kerajaan.

Namun, walau pun banyak kerajaan yang runtuh, bangsa Indonesia masih tetap semangat memperjuangkan kemerdekaan. Maka muncullah tokoh-tokoh pergerakan/perjuangan, baik nasional maupun lokal, diantaranya Cut Nyak Dien, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Trunajaya, dan masih banyak lagi. Jasa perjuangan mereka harus terus diingat oleh generasi saat ini, agar bangsa ini tidak disebut bangsa yang lupa akan asal-usulnya.

Memasuki abad ke-20, pergerakan pemuda Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Perhatian para pemuda untuk meraih kemerdekaan terus memuncak. Mereka membentuk organisasi-organisasi kepemudaan dan orgaisasi sosial masyarakat sebagai wadah menghimpun kekuatan. Akhirnya lahirlah Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain. Dan muncullah tokoh-tokoh seperti HOS Cokro Aminoto, Soekarno, Hatta, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Ahmad Soebardjo, dan lain sebagainya.

Para tokoh tersebut tidak serta-merta berdiam diri, mereka melakukan pergerakan yang massif di ranah mereka masing-masing. Secara garis besar, tokoh-tokoh tersebut dibagi menjadi tiga golongan: pertama golongan Nasionalis; kedua, golongan Komunis; ketiga, golongan Islamis-Nasionalis. Namun, walau pun mereka tidak dalam satu golongan, tapi mereka tetap mengutamakan kepentingan nasional. Perdebatan memang sering timbul di antara mereka, namun hal tersebut muncul dalam rangka mencari 'apa yang benar', bukan 'siapa yang benar'.

Sambil berjalannya waktu, kemudian terbentuklah BPUPK dan disusul PPKI. Dalam dua organisasi tersebut, pihak Jepang masih ikut campur. Sehingga para golongan muda menyepakati untuk tidak mengatasnamakan PPKI ketika Proklamasi dikumandangkan. Hingga kemudian terjadilah peristiwa Rengasdengklok. Sekali lagi, ini terjadi tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Proses dan strategi yang matang dan menguras tenaga tentu dikorbankan oleh para tokoh tersebut.

Kemudian, setelah 72 tahun dari peristiwa Proklamasi, bangsa Indonesia belum benar-benar merasakan nikmatnya kemerdekaan. "Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama," masih terus berjalan hingga detik ini. Memang, secara administratif, seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah menjadi wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, namun Pemerintah Indonesia (dalam wilayah tertentu) tidak sepenuhnya bisa menguasainya.

Politik pecah belah, sering kali diluncurkan oleh negara lain, sehingga berdampak perang saudara sesama anak bangsa; isu agama dan suku masih sering muncul untuk memporak-porandakan Indonesia; perang antar golongan juga ikut menghiasinya. Hal tersebut mengindikasikan betapa ketidakmatangan berpikir para tokoh agama dan politik di Jakarta. Hingga rakyat kecil menjadi korbannya. Setiap hari rakyat jelata disuguhi pertikaian-pertikaian wakil rakyat dan elite politik yang memalukan dan sangat kekanak-kanakan. Sungguh hal tersebut tidak mencerminkan seorang negarawan.

Konflik antar partai, antar ormas, dan antar suku harus segera disudahi. Kepentingan rakyak, keamanan nasional, dan keadilan yang merata harus diutamakan. Saatnya bangsa Indonesia bersatu, merumuskan langkah-langkah ke depan demi keberlangsungan anak-cucu bangsa ini. Jika keributan ini tidak segera disudahi, maka cepat atau lambat Indonesia akan hancur, dan akan ada pertumpahan darah (semoga tidak terjadi).

Peristiwa yang memanas dalam sepuluh bulan terakhir ini harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Kemudian, bersama dengan Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia, mari kita mulai rapatkan barisan, kita buang sikap saling mencurigai. Mari duduk bersama menyongsong terbitnya sang mentari di esok pagi.

Semua tahu dan sadar, bahwa bangsa ini memiliki banyak intelektual atau kaum cendekiawan. Namun, hal itu tidaklah cukup untuk menata dan memimpin negara sebesar ini. Kita masih butuh orang-orang sepuh yang bisa menuntun dan mengarahkan. Kita butuh sesepuh yang bisa mengayomi seluruh golongan, tanpa pilih kasih. Karena pertikaian-pertikaian yang terjadi di negara ini, ialah disebabkan oleh tidak adanya orang yang disepuhkan, atau pemimpin sejati.

Semoga di 72 tahun kemerdekaan Indonesia ini, bangsa Indonesia kembali menemukan jati dirinya, pemerintah dibukakan hatinya untuk berempati kepada rakyat, dan mahasiswa bisa menempatkan kembali posisinya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Selamat ulang tahun Ibu Pertiwi, semoga engkau semakin membaik dalam segala hal.


Malang, 3 Agustus 2017
Syarif Dhanurendra