Ilustrasi: gusmus.net |
Karena itu dalam tulisan ini, istilah “jabatan” digunakan hanya yang berkaitan dengan sebutan pejabat, yakni hanya berkaitan dengan pekerjaan atau tugas pemerintahan baik yang penting maupun yang lebih penting lagi. Sebab, jabatan dengan pengertian ini biasanya lebih menarik dan diamati oleh banyak penduduk bumi.
Jabatan memang suatu makhluk yang penting dan sekaligus aneh. Penting karena melalui dirinya, berbagai macam urusan orang (lengkapnya urusan negara dan masyarakat) ditangani; berbagai anggaran negara disalurakan melaluinya atau melalui pemegangnya. Jabatan, sesuai dengan namanya, mengandung pengertian amanat dan tanggung jawab. Lazimnya, jabatan disebut memberi kepada pemegangnya (pejabat), dua hal: kewajiban dan hak. Karena itu, berbagai aturan pun dibuat untuk mendapatkan pemegang jabatan yang tepat dan menjaga agar pekerjaan atau tugas penting itu dilaksanakan dengan semestinya. Bahkan sebelum seorang pejabat menjabat, dilakukan penyumpahan segala.
Mengapa disebut aneh? Sebab, menilik penting dan besarnya tanggungjawab jabatan, semestinya banyak orang yang tidak berminat memegangnya, namun kenyataannya setiap jabatan bahkan yang paling kecil pun mengundang peminat yang membludak. Apakah orang hanya tertarik kepada haknya saja, karena memang yang diketahui hanya itu ataukah karena jiwa kejuangan dan rasa tanggung jawab memang luar biasa di negeri ini? Kita sering menyaksikan pejabat menyelenggarakan tasyakuran karena “mendapat” jabatan. Apakah dia itu mensyukuri hak atau kah mensyukuri amanat dan tanggungjawab yang dipercayakan ke pundaknya? Tentu yang paling tahu adalah dia sendiri.
Dewasa ini kita mendengar dan menyaksikan ramainya orang berbicara tentang jabatan penting mulai kepala negara hingga kepala daerah (hingga istilah pilkada pun mungkin sudah mengalahkan pil koplo). Ramainya pembicaraan mengenai hal ini, bisa diartikan meskipun saya masih sebatas berharap bahwa kesadaran dan rasa tanggung jawab serta kepedulian masyarakat terhadap negara dan daerah mereka memang sudah sangat tinggi. Demikian pula dengan fenomena banyaknya orang yang menawarkan atau mendaftarkan diri menjadi calon kepala negara atau kepala daerah, bisa kita artikan meskipun saya terus terang agak ragu bahwa para peminat itu semata-mata didorong oleh rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kemaslahatan negara dan daerah serta kesejahteraan rakyat.
Dengan berat saya harus mengatakan sejujurnya, saya agak ragu (kata “agak”, ini pun sudah berlebihan menutupi keterusterangan saya); benarkah tanggung jawab terhadap kemaslahatan negara dan daerah serta kesejahteraan rakyat sedah sedemikian tinggi di negeri kita ini, sehingga banyak orang yang berlomba-lomba dan siap “mengorbankan” diri bagi kemuliaan negara dan daerahnya sebagaimana pendahulu-pendahulu kita siap mengorbankan diri mereka bagi kemuliaan bangsa dan negara?
Bila para pendahulu kita membuktikan tekad mereka dengan amal perbuatan, maka dengan apakah para peminat jabatan saat ini hendak membuktikan tekad mereka? Apakah mereka akan membuktikan tekad mereka dengan menunjukkan kemampuan, pengetahuan, moral, program, dan kasih sayang mereka terhadap rakyat, ataukah dengan mengerahkan para pendukung dan harta kekayaan mereka?
Juga para pendukung masing-masing calon, benarkah karena mereka melihat dan berani bersaksi terutama di hadapan Tuhan bahwa calon mereka adalah putra terbaik yang mampu membawa negara atau daerah ini jaya mengantarkan rakyatnya pada kesejahteraan?
Ataukah ada kepentingan-kepentingan sendiri yang akan dinunutkan dalam pendukungnya terhadap calon itu?
Saya teringat pernah membaca, betapa Sayyidina Umar Ibn Khattab yang begitu perkasa menangis tersedu-sedu ketika karibnya, Khalifah Abu Bakar Shiddiq, menunjuk dirinya sebagai calon pengganti sebagai khalifah.
“Jika Anda benar mencintaiku, walai Khalifah, janganlah kau bebankan amanat sebesar itu ke pundakku!" Demi”ian kira-kira pinta sahabat Umar kepada seniornya itu. “Masih banyak orang lain yang lebih mampu daripadaku.” Umara menangis di samping karena melihat beratnya tanggung jawab juga terutama karena membayangkan kerasnya hisap pada Hari Perhitungan Tuhan kelak.
Dengan panjang Lebar Abu Bakar mengutarakan alasan-alasannya mengapa memilih Umar. Antara lain dengan “menggiring” Umar untuk mengakui bahwa saat itu, negara dan rakyat membutuhkan seorang tokoh pimpinan Al-qawiyyul Amien yang kuat dan dapat dipercaya.
Di hadapan jawaban ini, jelas Khalifah, ada dua orang yang terjerumus ke dalam neraka. Pertama, orang yang nekat maju mengambilnya, padahal dia tahu ada orang yang lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang mampu dan diminta memegangnya tapi menolak karena lari dari tanggung jawab.
Akhirnya secara obyektif Umar mengakui, untuk persyaratan amanah bisa dipercaya, selain dia masih banyak orang lain yang dapat memenuhinya, tapi siapakah yang dapat menandingi kekuatan Umar dalam menjaga dan membela kepentingan rakyat. Meski sudah kalah, Umar masih meminta Abu Bakar agar terlebih dahulu bermusyawarah dan meminta persetujuan ahlul halli walaqdi (tokoh-tokoh yang representatif mewakili rakyat).
Waba’du, yang namanya jabatan, terutama jabatan negara, adalah untuk kepentingan orang banyak. Sekali anda secara cupet hanya memandangnya sebagai untuk kepentingan golongan sendiri, insya Allah Anda tidak hanya akan dilaknat sejarah tapi juga oleh Yang Maha Tahu isi dada Anda. Wallahualam.
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), tulisan ini telah terbit di gusmus.net
Jabatan
Oleh
Syarif Dhanurendra
Tanggal
1/09/2020 03:55:00 pm
Ilustrasi: gusmus.net MENURUT kamus, jabatan ialah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi. Jadi mestinya siapapun yang b...