Lelaki yang Memaki Tuhan

Sumber: kenduricinta.com
Patangpuluhan, Minggu ketiga Mei 1990
Datang ke rumah saya, pada suatu siang yang gerah, seorang lelaki dengan wajah yang hendak “runtuh”, dengan sorot mata yang dipenuhi oleh kemarahan yang besar sekaligus ketakutan yang besar.
Itu salah satu “model” dari salah satu “tipe” tamu-tamu saya, di samping sahabat-sahabat lain yang menyenangkan, yang datang membawa kabar baik, kegembiraan, atau datang untuk mentraktir rasa lapar saya.
Semua saya cintai. Semua, sebisa-bisa saya sambut dengan partisipasi dan empati.
Lelaki itu, yang datang dari kota berjarak 300 km dari Yogyakarta, adalah seorang sarjana, seorang pegawai negeri. “Sudah beberapa kali saya berpikiran akan bunuh diri, meskipun alhamdulillah belum pernah saya laksanakan,” katanya, mengagetkan saya.
“Masa kanak-kanak saya normal seperti anak-anak lain. Tetapi, mulai 9 tahun, saya mulai merasakan konflik kejiwaan yang dahsyat. Saya mulai terbiasa memaki-maki Tuhan. Makin saya menghayati kehidupan, makin saya menjumpai hal-hal yang tak saya setujui. Saya tidak tahan menyaksikan kesengsaraan. Padahal, seluruh kehidupan ini sudah diskenariokan oleh Tuhan. Saya tidak mengerti untuk apa Allah menciptakan kesengsaraan. Kalau memang Tuhan itu ada dan berkuasa atas segala sesuatu, mengapa tidak Dia ciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan saja, dan tak usah penderitaan dan kesengsaraan. Saya tidak tega….”
Ia bercerita panjang lebar. Ia mengemukakan berbagai kegelisahan yang aneh-aneh, yang menyangkut keadilan, kebenaran, penindasan, takdir Tuhan, idaman perdamaian, serta apa-apa saja. Ia begitu takut pada neraka. Ia berhenti merokok karena takut menyalakan korek api sebab api mengingatkan ia pada dahsyatnya api neraka. Ia tidak mengerti mengapa Tuhan membuat neraka segala macam, mbok ya surga saja. Kalau memang Tuhan adil, tak usahlah Dia biarkan sekian banyak orang sengsara sampai sekian lama. Sampai setiap orang sakit jiwa pada stadium masing-masing. Di setiap kantor dan tempat merundingkan nomor buntut. Di setiap ruangan orang mencari kamuflase, mencari pelarian, mencari hiburan-hiburan pragmatis dari kesengsaraan yang amat panjang. Ia bahkan melihat orang yang sengsara bukan hanya orang-orang yang melarat, melainkan juga banyak orang kaya yang hidupnya sangat sengsara. Ia tak kuat menyaksikan itu semua. Ia pergi mencari ulama-ulama, tetapi setelah bertemu justru tambah bingung karena ia dihadapkan dengan dogma-dogma dan ancaman kafir musyrik dan lain sebagainya. Ia pergi ke psikiater, tetapi tak memuaskannya karena ia berkesimpulan para ahli psikologi hanya mengetahui gejala kejiwaan, tetapi tidak mengerti jiwa. Dan, seterusnya dan seterusnya.
Dialog kami hampir memakan waktu dua jam.
Setelah membiarkannya menuntaskan segala yang ingin ditumpahkan, lantas saya menanggapinya dengan penuh kemarahan dan dengan suara gemetar.
“Anda, kok, berani-beraninya mau bunuh diri segala.” Saya tuding mukanya. “Anda hendak mengkhianati cinta saya kepada Anda! Kalau Anda bunuh diri, lantas saya bagaimana? Mengapa Anda meninggalkan saya? Kok, tega-teganya Anda menganggap enteng cinta kasih saya kepada Anda! Anda pikir saya hanya mencintai orang-orang yang sudah saya kenal? Kalau Anda sampai bunuh diri, saya akan bilang sama Tuhan: Ya Allah, ada lelaki yang tega hati mengkhianati kita! Dia egois dan mementingkan dirinya sendiri! Dia mau mencari kepuasan pribadi! Dia tidak mau merasakan bahwa saya akan sangat merasa sedih kalau ia bunuh diri. Saya akan sangat marah besar! Kalau Anda bunuh diri, saya akan kejar-kejar roh Anda dan akan saya cabik-cabik, saya tuntut, saya tagih….”
Mata saya memelotot. Sorotnya saya bikin sedemikian rupa sehingga mampu menembus ruang asing di dalam jiwanya. Otot-otot di wajah saya menegang. Punggung saya maju dari kursi. Dengan kata-kata saya meluncur tanpa pause,saya cengkeram tengkuknya, saya angkat seluruh tubuh dan jiwanya ke ruang kosong di awang-uwung.
“Anda telah meletakkan diri Anda sebagai Tuhan! Anda mencuri hak Allah untuk menentukan kelahiran dan kematian. Saya sama sekali tidak terima itu! Kalau Anda memang hendak menentukan kematian Anda, mengapa dulu Anda tidak menentukan kelahiran Anda? Mengapa Anda memilih menjadi Anda dan tak memilih menjadi orang lain saja? Mengapa Anda memilih lahir di sini dan tidak di sana? Kenapa Anda tidak memilih menjadi saya, sehingga siang ini menerima tamu seorang lelaki yang bingung, marah, dan ketakutan? Sekali lagi, kalau Anda sampai bunuh diri, roh Anda akan saya kejar dan akan saya tampar dengan seribu kali kematian! Saya akan umumkan kepada semua makhluk bahwa saya menyesal mencintai seorang yang ternyata sangat lemah padahal sesungguhnya ia kuat, seseorang yang merasa sengsara padahal ia lebih besar daripada kesengsaraan, seseorang yang bisa diombang-ambingkan oleh kebingungan padahal sesungguhnya ia sanggup berdiri tegak, seseorang yang ternyata hanya buih yang terhanyut-hanyut padahal sebagai manusia ia adalah pengendali gelombang, seseorang yang malas dan pengecut padahal sebagai makhluk yang potensinya lebih tinggi dibanding jin dan malaikat sebenarnya ia merupakan wakil Tuhan untuk mampu mengendalikan apa saja — apalagi sekadar gejala-gejala picisan dalam jiwa manusia seperti rasa marah, takut, bingung, stres….”
Kata-kata saya tumpah menjadi gurun pasir yang menimbuninya.
Lelaki itu bengong.[]

________________
Karya Emha Ainun Nadjib, tulisan ini telah terbit di caknun.com

No comments:

Post a Comment